Jumat, 15 Agustus 2014

kamu, malam, jakarta

Jakarta, 16 Agustus 2014
Malam makin memberat, dalam hujan sebagai jendela kecemasan. Bintang terlalu gamang untuk berkilau, hanya awan hitam yang perkasa berjelaga, menggurui angin antara semilir dan memutar haluan. Sementara lampu-lampu tengah kota hanya mempesona, memberi sedikit keriangan dalam hati yang temaram, sementara rindu yang makin berjarak hampir hilang, menyisakan luka-luka kecil sebagai residu, karena hidup takkan pernah usang, seberapa pun karat yang pernah tergores karena cinta.
Suara-suara malam makin pongah, seakan memaki-maki hatiku yang jauh. Teriakan-teriakan doa pun hanya memantul, antara segumpal ego dan sekerat asa yang terbaca dalam mimpi-mimpi indah yang pernah terlewat.Sambil lalu pun aku masih sempat berkaca pada pandangan matamu, meski redup, cahayanya masih melukai, aku berdarah-darah sekedar membayangkanmu, nuansa-nuansa cinta masih meradang, penuh pengibaratan tentang sesal, seperti malam ini aku melolong akan melupakanmu, karena kau adalah kemegahan yang terbilang dalam hidupku.
Malamku bukan lagi tentang kau, aku sudah berjanji menguburmu sehitam malam, melebur sederas hujan, dan melupakan rinduku setinggi ujung daun.
Malam ini, akan banyak bercerita tentang hakikat, karena muasal kembali ke muasal, kita fana dalam cinta dan kita baka dalam rasa.
Malam kujadikan bijaksana, bersama tabir yang tak kunjung terkuak, dan pada akhirnya aku hanya akan mengenangmu, ketika kilau bintang meminta, abadikan aku dalam ikhlas yang teruji.Pagi ini yang menjauhkanku dari sekedar menunggumu, akan mendekatkan aku kembali dari kehampaan yang menyesak, menyembuhkanku dari himpitan kesendirian, membangunkanku dari terkulai, dan menarik tanganku dari terasing.
Betapapun aku tersengal bernafas seorang diri, takkan pernah kuingkari wangi hatimu, meski aku hanya lampu jalanan, bukan matahari yang abadi, niscaya tegar bilamana rindu padamu hadir.
Jika aku pernah berprasangka karena kabut yang kau singsingkan, aku banyak belajar dari remah-remah hikmah, sedetik sebelum waktu menggurui. Kesenangan belum tentu karunia, karena kesedihan selalu menyertainya. Hanya malam-malam penuh syukur kebahagiaan sejati, hingga tertawa dan menangis tak ada bedanya, seperti pergantian siang ke malam yang terbiasa.